![]() |
Ilustrasi KUA Pra-Kemerdekaan, dok:Ist |
Iwan Yuliawan Penyuluh Agama Islam, Kantor Urusan Agama (KUA) Cimahi
ABSTRAK
Artikel ini mengkaji evolusi historis Kantor Urusan Agama (KUA) di Indonesia melalui pendekatan studi historis. Penelitian ini melacak jejak KUA dari akarnya sebagai lembaga kepenghuluan yang memiliki otoritas keagamaan dan yudisial multidimensi di era kerajaan-kerajaan Islam, yang kemudian mengalami proses formalisasi dan reduksi peran menjadi aparatur birokrasi di bawah pemerintahan kolonial Belanda. Selanjutnya, dianalisis peran krusial Shumubu pada masa pendudukan Jepang sebagai model kelembagaan terpusat yang menjadi embrio bagi Kementerian Agama. Puncaknya adalah transformasi lembaga ini menjadi Kantor Urusan Agama sebagai instansi vertikal Kementerian Agama pasca-kemerdekaan Indonesia. Hasil kajian menunjukkan bahwa eksistensi KUA saat ini adalah produk dari dialektika sejarah yang panjang, merefleksikan perubahan dinamika politik, sosial, dan keagamaan di Indonesia. Transformasi ini secara fundamental mengubah status dan fungsi penghulu dari figur ulama otoritatif menjadi aparatur sipil negara dengan tugas pelayanan publik yang terdefinisi secara jelas di tingkat kecamatan.
Kata Kunci: Kantor Urusan Agama, KUA, Sejarah Kelembagaan, Penghulu, Kementerian Agama, Hukum Islam di Indonesia
1. PENDAHULUAN
Kantor Urusan Agama (KUA) merupakan institusi pemerintah yang paling dekat dengan denyut kehidupan keagamaan masyarakat Muslim di Indonesia. Sebagai garda terdepan Kementerian Agama di tingkat kecamatan, KUA tidak hanya identik dengan pelayanan pencatatan nikah, tetapi juga mengemban fungsi bimbingan masyarakat, pengelolaan zakat dan wakaf, hingga manasik haji. Namun, keberadaan KUA sebagai lembaga negara yang mapan saat ini bukanlah sesuatu yang muncul secara tiba-tiba. Ia memiliki akar historis yang dalam dan telah melalui serangkaian transformasi signifikan seiring dengan perubahan rezim kekuasaan di Nusantara.
Memahami sejarah KUA berarti menelusuri evolusi peran negara dalam administrasi keagamaan Islam di Indonesia. Perjalanan ini dimulai dari lembaga kepenghuluan yang menyatu dengan kekuasaan keraton, kemudian dibirokratisasi oleh kekuatan kolonial, hingga akhirnya dilembagakan secara modern oleh negara Indonesia merdeka. Artikel ini bertujuan untuk merekonstruksi dan menganalisis perjalanan historis tersebut dalam empat babak utama: era kerajaan Islam, era kolonial Belanda, era pendudukan Jepang, dan era kemerdekaan.
2. METODE PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan metode studi historis dengan pendekatan kualitatif. Pengumpulan data dilakukan melalui studi kepustakaan (literature review) terhadap sumber-sumber sekunder yang relevan dengan sejarah lembaga keagamaan Islam di Indonesia, regulasi pemerintah dari era kolonial hingga kemerdekaan, serta analisis naratif terhadap perkembangan institusi tersebut. Analisis data dilakukan secara deskriptif-kronologis untuk merekonstruksi dan menginterpretasikan evolusi kelembagaan KUA dari masa ke masa.
3. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Akar Otoritas Keagamaan: Lembaga Kepenghuluan di Era Kerajaan Islam
Cikal bakal KUA dapat dilacak pada eksistensi Lembaga Kepenghuluan di masa kerajaan-kerajaan Islam Nusantara (misalnya Demak, Mataram, Banten). Pada masa ini, seorang Penghulu (sering disebut Penghulu Kraton atau Penghulu Ageng) merupakan figur ulama yang memiliki kedudukan sentral dan terhormat, diangkat langsung oleh Sultan atau Raja. Peran penghulu bersifat multidimensi, mencakup:
Penasihat Keagamaan Raja: Memberikan legitimasi dan nasihat berbasis syariat Islam kepada penguasa.
Hakim (Qadi): Memimpin pengadilan agama untuk menyelesaikan sengketa hukum keluarga dan muamalah.
Pemimpin Umat: Bertindak sebagai imam besar masjid agung, memimpin ritual keagamaan, dan menjadi rujukan fikih bagi masyarakat.
Pencatat Perkawinan: Melaksanakan dan mengadministrasikan pernikahan, khususnya di lingkungan keluarga kerajaan dan masyarakat umum.
Lembaga kepenghuluan pada era ini merupakan simbol penyatuan antara otoritas politik (kerajaan) dan otoritas keagamaan, dengan yurisdiksi yang luas dan kewibawaan yang tinggi.
B. Birokratisasi dan Reduksi Peran di Era Kolonial Belanda
Pemerintah kolonial Belanda, dalam rangka mengendalikan populasi Muslim, memilih untuk tidak menghapus lembaga kepenghuluan, melainkan mengkooptasi dan memformalkannya. Kebijakan ini mengakibatkan dua perubahan fundamental. Pertama, melalui pembentukan Priesterraden (kemudian disebut Raad Agama), fungsi yudisial penghulu dipisahkan dan ditempatkan dalam sebuah lembaga peradilan formal yang diawasi negara kolonial.
Kedua, para penghulu dan stafnya diangkat menjadi pegawai pemerintah (ambtenaar) yang menerima gaji dari kas negara. Status ini mengubah penghulu dari seorang ulama independen menjadi seorang birokrat. Peran mereka secara bertahap direduksi dan difokuskan pada tugas-tugas administratif, utamanya pencatatan Nikah, Talak, dan Rujuk (NTR), yang diatur melalui berbagai ordonansi pemerintah. Dengan demikian, era kolonial menjadi titik awal birokratisasi dan penyempitan fungsi lembaga kepenghuluan.
C. Blueprint Institusi Modern: Shumubu pada Masa Pendudukan Jepang
Masa pendudukan Jepang (1942-1945), meskipun singkat, menjadi periode yang sangat menentukan. Untuk mendapatkan dukungan umat Islam, pemerintah militer Jepang mendirikan Shumubu, sebuah kantor pusat urusan agama Islam di Jakarta. Dipimpin oleh K.H. Hasyim Asy'ari dan dijalankan oleh K.H. A. Wahid Hasyim, Shumubu menjadi lembaga pertama yang mengelola urusan agama Islam secara terpusat di tingkat nasional.
Keberadaan Shumubu memberikan model atau blueprint tentang bagaimana urusan keagamaan dapat diorganisir dalam sebuah struktur kementerian. Lembaga inilah yang menjadi embrio dan inspirasi utama bagi para tokoh Islam untuk memperjuangkan pendirian Departemen Agama setelah Indonesia merdeka.
D. Transformasi Final: Lahirnya Kantor Urusan Agama di Bawah Kementerian Agama
Perjuangan para tokoh bangsa membuahkan hasil dengan lahirnya Departemen Agama pada 3 Januari 1946 melalui Penetapan Pemerintah No. 1/SD. Di bawah kepemimpinan Menteri Agama pertama, H.M. Rasjidi, dilakukan penataan kelembagaan secara menyeluruh. Melalui Maklumat No. 2 tanggal 23 April 1946, seluruh institusi keagamaan peninggalan masa sebelumnya, termasuk kantor-kantor kepenghuluan, resmi berada di bawah naungan Departemen Agama.
Lembaga kepenghuluan di tingkat lokal kemudian secara resmi ditransformasikan menjadi Kantor Urusan Agama (KUA) dan ditetapkan sebagai instansi vertikal Departemen Agama di tingkat kecamatan. Penggunaan nama "Kantor Urusan Agama" menandai perluasan mandat yang melampaui sekadar urusan pencatatan nikah. Seiring waktu, tugas KUA berkembang hingga mencakup pelayanan bimbingan keluarga sakinah, kemasjidan, manasik haji, serta pengelolaan zakat dan wakaf, menjadikannya pusat layanan keagamaan Islam yang komprehensif bagi masyarakat.
4. KESIMPULAN
Sejarah Kantor Urusan Agama (KUA) adalah sebuah narasi evolusi yang kompleks. Ia berawal dari lembaga kepenghuluan dengan otoritas keagamaan dan yudisial yang kuat di masa kerajaan, lalu mengalami birokratisasi dan reduksi peran di bawah administrasi kolonial. Masa pendudukan Jepang memberikan model kelembagaan modern yang kemudian diadopsi dan disempurnakan pada era kemerdekaan dengan lahirnya Kementerian Agama. Transformasi final menjadi KUA menempatkannya sebagai institusi negara yang vital, mengubah peran historis penghulu dari seorang ulama penasihat raja menjadi aparatur sipil negara yang berfungsi sebagai pelayan publik di bidang keagamaan. Perjalanan panjang ini menunjukkan bahwa KUA adalah cerminan dari dinamika hubungan antara agama, negara, dan masyarakat dalam lintasan sejarah Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA
Adnan, A. (2004). Sejarah Institusi Islam di Indonesia. Rajawali Pers.
Aqsha, D. (2005). Kiai Haji Mas Mansur, 1896-1946: Perjuangan dan Pemikiran. Erlangga.
Boland, B. J. (1985). Pergumulan Islam di Indonesia 1945-1972. Grafiti Pers.
Departemen Agama RI. (2002). Buku Rencana Induk KUA dan Pengembangannya. Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam dan Urusan Haji.
Departemen Agama RI. (2004). Tugas-Tugas Pejabat Pencatat Nikah. Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam dan Penyelenggaraan Haji.
Effendy, B. (2004). Islam dan Negara: Transformasi Gagasan dan Praktik Politik Islam di Indonesia. Paramadina.
Isma'il, I. Q. (1997). Kiai Penghulu Jawa: Peranannya di Masa Kolonial. Gema Insani Press.
Lev, D. S. (1985). Peradilan Agama Islam di Indonesia: Suatu Studi tentang Landasan Politik Lembaga-Lembaga Hukum. Intermasa.
Noer, D. (1980). Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942. LP3ES.
Pemerintah Republik Indonesia. Penetapan Pemerintah No. 1/SD Tahun 1946 tentang Pembentukan Departemen Agama.
Pemerintah Republik Indonesia. Maklumat Kementerian Agama No. 2 Tahun 1946 tentang Penyerahan Instansi Keagamaan kepada Kementerian Agama.
Ricklefs, M. C. (2001). A History of Modern Indonesia Since c. 1200. Stanford University Press.
Steenbrink, K. A. (1984). Beberapa Aspek tentang Islam di Indonesia Abad ke-19. Bulan Bintang.
0 Komentar